
Gubernur Bali I Wayan Koster mendorong penjabat Dinas Pertanian untuk belajar ke Israel agar bisa memanfaatkan teknologi dalam meningkatkan produktivitas lahan pertanian di Pulau Dewata.
Menurutnya, Israel berhasil menciptakan inovasi teknologi yang dapat mengubah lahan kering menjadi lahan pertanian.
“Harus ada inovasi, lahan kering bisa dijadikan sebagai pertanian modern. Itu sekarang banyak metodenya yang sangat berhasil, tidak lagi pertanian konvensional, tapi pertanian berbasis teknologi. Kalau perlu belajar ke Israel yang luar biasa,” katanya.
“Enggak punya lahan subur, tidak ada air, tapi pertaniannya sangat maju. Karena teknologinya sangat maju. Embun diolah jadi air tanaman. Belajar gitu, Pak, jadi jangan gitu-gitu aja, enggak akan maju,” tambahnya saat Musrenbang di Kantor Gubernur Bali, Selasa (15/4/2025).
Ia mengatakan, sektor pertanian tidak boleh lagi bergantung pada metode konvensional.
Inovasi dalam bidang pertanian menjadi kunci untuk memastikan ketersediaan pangan yang cukup dan berkualitas di Bali.
Apalagi, tantangan seperti alih fungsi lahan sudah menjadi ancaman serius bagi sektor pertanian di Bali saat ini.
“Kalau ini tidak ditangani dengan baik, hati-hati, kita bisa kesulitan pangan di Bali. Karena luasan sawahnya menurun terus. Ribuan hektar per tahun lahan produktif itu berkurang karena eksploitasi lahan terlalu tinggi dalam pembangunan fasilitas pariwisata maupun fasilitas lainnya,” katanya.
Koster mengatakan, pasokan pangan untuk 4,4 juta penduduk di Bali dalam kondisi surplus.
Namun, produktivitas pertanian di Bali mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Bali surplus beras sebesar 100.000 ton selama periode 2018 hingga 2023, menjadi 53.000 ton pada tahun 2024.
“Berasnya masih surplus 53.000 ton tahun 2024, awas datanya salah. Jadi data ini waktu saya jadi gubernur di periode pertama surplusnya 100.000 ton lebih. Sekarang tinggal 53.000 ton, jadi menurun setengahnya,” kata dia.
Menurutnya, Bali berpotensi ketergantungan pangan impor apabila persoalan ini tidak segera diatasi. Apalagi, Indonesia selalu dihantui persoalan mafia impor.
“Apalagi pangan impor, kalau bisa enggak, malu kita negara agraris impor beras, bawang putih. Malu jadi negara maritim impor garam. Ini semua permainan mafia impor. Karena saya lama di Badan Anggaran DPR, tahu perilakunya itu. Jadi sulit sekali. Kalau mafia impor di Indonesia belum bisa diatasi, maka selamanya kita akan menghadapi masalah pangan,” kata dia.