
industri perhotelan di Bali mengalami ancaman serius akibat keberadaan vila atau akomodasi wisata ilegal di Bali.
Dampaknya, tingkat keterisian kamar anjok, hanya tersisa 10 hingga 20 persen selama periode Januari hingga Maret 2025, jauh di bawah rata-rata tahun sebelumnya yang masih dikisaran 60 hingga 70 persen.
“Kalau kita lihat ya dari jumlah kedatangan wisatawan tiap tahun itu, khususnya di bulan Januari, Februari, Maret, itu harusnya okupansi itu naik gitu ya. Kalau kita lihat ini, kelihatannya itu tadi saya bilang antara stagnan malah turun, jadi bisa antara 10-20 persen itu kelihatan sekali turun gitu,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PHRI Bali, Perry Markus, pada Senin (28/4/2025).
Ia mengatakan bahwa kondisi ini tidak sebanding dengan jumlah kunjungan wisatawan asing saat ini yang masih tergolong ramai.
Menurutnya, sepinya wisatawan asing yang menginap di hotel ini dipicu oleh pertumbuhan akomodasi wisata yang tidak terkontrol, seperti vila dan rumah kos elite yang tidak memiliki izin pariwisata.
“Kita ingin mengkaji waktu itu ke mana larinya. Apakah Bali hanya sebagai hub setelah tiba di Bali terus pergi lagi ke daerah lain? Ternyata tidak juga. Akhirnya kita ketemu, ternyata wisatawan-wisatawan ini akhirnya menginap di akomodasi (ilegal) yang tadi sudah disampaikan. Terserap ke sana,” kata dia.
Markus mengatakan bahwa para wisatawan asing memilih menginap di vila atau rumah kos elite karena menawarkan kenyamanan lebih kepada wisatawan.
Biasanya, hunian tersebut dikelola oleh individu, baik warga lokal maupun warga negara asing (WNA).
Mereka kemudian menawarkan teman senegaranya untuk menginap di hunian tersebut.
“Yang pertama sebenarnya kalau kita lihat ya, mereka itu ada yang dibawa oleh temennya. Jadi temennya punya bikin akomodasi, temennya yang lain diajak untuk menginap di situ, jadi transaksinya enggak di situ, di sana. Dia bilang aja itu temennya gitu. Padahal itu sebenarnya tamu misalnya,” kata dia.
“Kalau dari segi harga juga enggak murah-murah amat juga. Hampir sama. Cuman kalau kita lihat ada beberapa tempat yang membuat mereka privasinya itu lebih tinggi gitu loh,” tambahnya.
Markus mengatakan bahwa keberadaan hunian ilegal ini sangat merugikan akomodasi konvensional resmi karena mereka tidak dibebani untuk membayar pajak.
Karena itu, pihaknya berharap Pemerintah Provinsi Bali menindak tegas keberadaan akomodasi pariwisata yang tidak berizin tersebut.
“Jelas bahwa untuk akomodasi atau hotel yang sudah mempunyai legalitas resmi pasti merasa sangat dirugikan dengan yang tidak mempunyai legalitas atau ilegal gitu kan,” kata dia.